Oleh : Aldi Mega Perdana
Bising, gaduh dan gersang. Banyak makhluk besar berlalu lalang dan tampaknya cukup sibuk. Makhluk itu memiliki rambut hitam diatas sepasang matanya juga tepat diatas kepalanya. Sebagiannya lagi, berada diatas bibirnya. Entah apa yang mereka lakukan sehingga tempat ini kini penuh dengan debu dan lebih gersang dibandingkan hari-hari kemarin. Semakin hari, semakin buruk tempat ini. Entah apa yang mereka cari, yang aku tahu, rumah dimana tempatku tinggal, kini tidak seindah dulu lagi. Tak ada lagi pepohonan yang biasa di huni oleh seekor induk burung yang selalu memberi makan anak-anaknya dengan seekor cacing. Tak ada agi perlindungan untuk seekor tupai saat hujan tiba. Monyet-monyet yang selalu berada di dekat gua itu-pun, kini tidak lagi berkelompok dan saling berbagi makanan dengan sesamanya. Bahkan, makhluk besar itu, yang dulu sempat tinggal berdampingan dengan nenek moyang-ku, kini mulai tidak bersahabat lagi. Mereka kini lebih sibuk dengan besi-besi besar yang bising. Yang selalu mengeluarkan asap pekat dan berbau tak sedap itu. Membuatku dan beberapa teman-temanku merasa tidak nyaman. Apalagi pada saat mereka sibuk dengan barang kecilnya yang selalu tiba-tiba meledak dan meluluh lantak-kan bagian sisi gunungku. Sehingga banyak teman-temanku yang tewas. Bagiku, itu sangat menyakitkan hati. Apalagi ketika ibuku tewas akibat hal tersebut beberapa bulan yang lalu. Aku sungguh marah kepada mereka. Namun, apa daya. Aku hanya bisa terbang tinggi dan menangis melihat sisi lain dari gunungku yang diperkosa. Selain itu, banyak juga teman-teman dan keluargaku yang tewas akibat hal yang makhluk besar itu lakukan. Mereka sungguh kejam.
Sekarang, yang jadi pertanyaanku dan masih tidak aku mengerti adalah mengapa mereka dengan begitu teganya menghancurkan tempat tinggalku hanya untuk beberapa lembar kertas yang biasa mereka sebut uang. Aku-pun belum paham atas apa yang mereka cari, sehingga setengah dari gunungku tinggalah bebatuan gersang yang pecahannya sering mereka pikul dan lagi-lagi mereka melakukannya hanya untuk beberapa lembar kertas yang biasa mereka sebut uang. Apa sih uang itu? Apakah memang dengan sesuatu yang dinamakan uang itu bisa membuat mereka bahagia? Apakah uang itu memang benar-benar kebutuhan mereka? Lalu, apa untungnya uang bagi seekor burung pipit seperti aku ini? Yang aku butuhkan hanya makan dan tempat tinggal. Lagi pula,aku tidak pernah merugikan makhluk besar itu untuk mendapatkan apa yang aku butuhkan. Namun, mengapa mereka sangat merugikanku ketika mereka harus mendapatkan apa yang mereka butuhkan? Sungguh, aku tidak mengerti. Makhluk besar itu, yang sudah lama hidup berdampingan dengan nenek moyangku, tampaknya tidak bisa hidup tanpa perusakan besar-besaran ini. Karena kertas yang mereka butuhkan, yang dinamakan uang itu,dengan mudah bisa mereka dapatkan dari makhluk besar lainnya yang sepertinya mereka adalah pemilik besi-besi bising besar disana. Yang sepertinya, mereka membutuhkan pecahan bebatuan dari gunungku itu dan menukarnya dengan uang.
Kalau tidak salah, bukankah mereka itu kaum manusia? Makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan hewan seperti aku juga kaum-ku? Bukankah mereka itu kaum yang berakal? Yang memiliki hati nurani dan perasaan? Akan tetapi, apakah mereka sama rakusnya seperti anjing yang selalu berebut makanan dengan sesamanya? Karena tampaknya, mereka harus meruntuhkan setengah dari gunungku hanya untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Hanya untuk mendapatkan pecahan-pecahannya yang kemudian dibawa oleh besi-besi besar itu entah kemana. Apakah dengan begitu mereka dapat kenyang seperti monyet yang merusakan kulit kacang tanah untuk dimakan? Atau mungkin dengan begitu mereka dapat bahagia seperti babi yang mengacak-acak lumpur?
Entah-lah, yang aku pahami saat ini, mereka melakukan itu semua semata-mata hanya untuk bertahan hidup. Gunungku itu diperkosa untuk beberapa lembar kertas yang dinamakan uang. Dan itu semua mungkin sudah cukup untuk menghidupi para manusia yang dulu sempat hidup dengan nenek moyang-ku di tanah yang dulunya indah itu. Kedatangan manusia yang memiliki besi-besi bising besar itu memaksa mereka untuk memperkosa gunungku agar dapat bertahan hidup. Sungguh dilematis.
Selamat tinggal gunungku yang malang. Mungkin, suatu hari nanti aku akan kembali lagi kesini. Sekarang, aku akan terbang jauh.Mencoba untuk bertahan hidup seperti manusia-manusia itu, namun tanpa perusakan yang seperti mereka lakukan. Sampai jumpa tanah kelahiranku. Sampai jumpa Citatah-ku.
****
Seekor burung pipit terbang bebas dibawah langit biru yang cerah, penuh dengan awan tipis-nya yang berwarna putih menuju tengah kota Bandung dan meninggalkan daerah Bandung Barat. Perjalanannya yang masih jauh membuatnya lelah. Burung itu kemudian bertengger di atas atap sebuah rumah. Melihat sekitar, mencoba untuk mencari beberapa teguk air untuk di minum. Lalu, burung tersebut terbang rendah menuju genangan air yang tidak jauh dari sana. Dibawah pohon yang sudah tidak lagi berdaun. Dia meneguk rakus genangan air tersebut. Seperti terburu-buru oleh perjalanannya.
Tiba-tiba, suara senapan angin yang ditembakan oleh seseorang dari jauh memekakan telinganya. Peluru melesat dengan cepat menghantam tubuh burung tersebut. Langsung merobohkan tubuh kecilnya.Terkapar dan terluka parah disana. Namun masih hidup. Tampaknya, ingin rasanya dia berteriak meminta tolong dan merintih. Tapi, tak ada yang mendengarnya. Tak ada satupun yang mendengarnya. Kemudian, dua orang manusia berlari menghampirinya dan memasukannya ke sebuah kurung kecil yang terbuat dari kawat.
"Lumayan nih, kita dapat burung yang ke-sepuluh. Bisa kita jual semua di pasar burung" kata seseorang dari mereka.
Didalam kurung tersebut, burung itu terluka. Bulunya sedikit berhamburan. Tak sanggup lagi mencoba untuk terbang.Haus dan menahan rasa perih. Gunung-nya yang diperkosa manusia, kumpulan-nya yang menjadi korban manusia dan kini hidupnya-pun di renggut oleh manusia,hanya menjadi pelengkap bagi alam ini, alam yang sekarang tidak bersahabat lagi. Burung itu hanya tinggal menunggu ajalnya didalam kurung kecil. Betapa mahalnya sebuah kebebasan untuk seekor burung pipit ini. Baginya, sudah tidak ada lagi yang bersahabat didunia ini. Sudah tidak ada lagi.
- DI DEDIKASIKAN UNTUK GUNUNG CITATAH YANG KIAN HARI KIAN DI PERKOSA -
![]() |
Citatah yang malang (Sumber Foto: Dieny & Yusuf) |
No comments:
Post a Comment